Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment
system dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem
ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan
melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik,
maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi
peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat
tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah
menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan.
Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada
konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah
pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk
menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami
sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa
yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran
mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi
perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi
perpajakan dan perihal pengenaannya.
Ada 2 macam Sanksi perpajakan,
1. Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a. Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis
sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait
besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase
dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah
tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran,
sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang
juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa
atau disengaja.
b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan
atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.
Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah,
mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat
diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam
menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan
bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga).
Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan
bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap
dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib
Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang
terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi
bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada
umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya
dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan
dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.
c. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi
administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh
wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak
yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan
pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah
pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi
kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan
informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak
terutang.
2. Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana
dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi
pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana
merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan
keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi
Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB
tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya
tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di
bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu
tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan
kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak
mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat
dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu
ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,
berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan
dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan
dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh)
tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan
mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai
hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga
diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi
administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.
Sumber : Indonesian Tax Review
Posting Komentar